Sejarah SH Terate dan Sh Tunas Muda Winongo
SH
Terate adalah perguruan silat legendaris yang berperan menyebarkan
pencak silat ke berbagai daerah (bahkan manca negara). Di pusatnya,
Madiun, terdapat ribuan pendekar SH terate yang tersebar sampai
pelosok-pelosok kampung. Bagi pemuda-pemuda di daerah Madiun, menjadi
anggota SH terate adalah tradisi yang mereka laksanakan secara turun
temurun. Bahkan banyak keluarga yang dari Kakek buyut sampe cicit, semua
adalah anggota PS SH Terate. Hal ini membuat SH Terate sebagai
organisasi, cukup disegani di kawasan Madiun karena memiliki massa yang
sangat besar.
Sayang, di Madiun sering terjadi perkelahian
massal antara anggota SH Terate dan anggota SH Tunas Muda (Winongo).
Sebenarnya pendiri kedua perguruan silat tersebut berasal dari perguruan
yang sama. Menurut hikayat, asal muasal pencak silat di Madiun adalah
dari seorang pendekar bernama Suro (Mbah Suro). Konon, sewaktu masih
sangat muda Mbah Suro ini adalah salah satu prajurit tangguh yang
dimiliki Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro kalah dari
Belanda, mbah Suro melarikan diri ke Madiun, dan mendirikan sebuah
perguruan silat sendiri.
Perguruan silat ini kemudian
berkembang cukup pesat. Mbah Suro memiliki banyak sekali murid. Namun
diantara sekian ratus muridnya, ada dua yang paling menonjol. Yang satu
kemudian mendirikan perguruan silat sendiri di daerah Winongo Madiun,
dan kemudian di kemudian hari menjelma menjadi SH Tunas Muda. Sementara
yang satunya meneruskan perguruan silat mbah Suro dan kemudian menjelma
menjadi SH Terate.
Awalnya, kedua perguruan tersebut saling
berdampingan dengan damai satu sama lain. SH Winongo memiliki pengaruh
di daerah madiun kota, sementara SH Terate mengakar di daerah madiun
pinggir/pedesaan. Benih perpecahan dimulai ketika antara tahun 1945-1965
an, banyak pendekar SH Winongo yang berafiliasi dengan PKI. SH Terate
yang menganggap ilmu SH (Setia Hati) yang diturunkan oleh mbah Suro
merupakan ilmu yang berbasis ajaran Islam, merasa SH Winongo mulai
keluar dari jalur tersebut.
Perselisihan semakin menjadi-jadi
antara tahun 1963-1967, dimana banyak pendekar dari kedua perguruan yang
terlibat bentrok fisik dalam peristiwa-peristiwa politik. Meski banyak
anggotanya yang berafiliasi kiri, namun secara organisasi SH Winongo
tidak terlibat dalam aktivitas kekirian tersebut. Hal inilah yang
kemudian menyelamatkan perguruan silat ini dari pembubaran oleh
pemerintah.
Setelah masa pembersihan anggota PKI yang
berlangsung antara tahun 1967-1971 di daerah Madiun, SH Winongo sedikit
demi sedikit mulai kehilangan pamornya. Puncaknya, pada era 1980-an bisa
dikatakan perguruan silat ini dalam keadaan mati suri. Konon, banyak
pendekar SH Terate yang berperan sebagai eksekutor para anggota PKI
(termasuk beberapa pendekar SH Winongo yang terlibat PKI) di kawasan
Madiun. Hal inilah yang kemungkinan memicu dendam pendekar SH Winongo
yang non-PKI tapi merasa memiliki solidaritas pada kawan-kawannya yang
dieksekusi tersebut.
Seiring
dengan perkembangan tersebut, mulai sering terjadi perkelahian antar
pendekar di berbagai pelosok Madiun. Perkelahian yang juga melibatkan
senjata tajam tersebut tak jarang berakhir dengan kematian salah satu
pihak. Pada waktu itu, Madiun bagaikan warzone para pendekar silat
(termasuk dengan senjata tajam dan senjata lainnya). Di berbagai sudut
kota dan kampung terdapat grafiti yang menunjukkan identitas kelompok
pendekar yang menguasai kawasan tersebut. Pendekar SH Terate menggunakan
istilah SHT (Setia Hati Terate) atau TRD (Terate Raja Duel) untuk
menandai basisnya. Sementara SH Winongo menggunakan istilah STK, yang
kemudian diplesetkan menjadi “Sisa Tentara Komunis”, untuk menandai
kawasan mereka.
Pada kurun waktu 1990-2000, STK mengalami
perkembangan jumlah anggota yang sangat pesat. Desa Winongo sebagai
markas besar mereka, pada awalnya masih mudah diserang oleh pendekar SHT
dari wilayah tetangga. Namun karena kekuatan mereka yang semakin besar
membuat Winongo menjadi untouchable area. Hampir seluruh pemuda dan
lelaki di desa ini menjadi anggota STK yang militan, sehingga penyerbuan
SHT ke wilayah ini menjadi semakin sulit dilakukan.
STK
menggunakan taktik populis dalam merekrut anggota baru. Mereka masuk ke
SMP dan SMU di kota Madiun dan menawarkan status pendekar secara instan
kepada pemuda-pemuda yang mau bergabung. Sementara untuk meraih status
pendekar di SHT, persyaratannya cukup berat dan memakan waktu cukup
lama. Tawaran menjadi pendekar instan tersebut tentu saja mendapat
sambutan yang besar dari para pemuda yang belum mengetahui esensi
sebenarnya sebuah panggilan “pendekar”. Di Madiun, menjadi pendekar
adalah sebuah kehormatan yang diimpi-impikan para pemuda. Predikat
pendekar menjadi sangat elit karena harus dicapai dengan susah payah.
Seorang Pendekar dipastikan memiliki kemampuan silat dan fisik yang
prima, serta pemahaman agama yang dalam.
Akibat taktik populis
yang dilakukan STK, kode etik pertarungan antar pendekar yang selama ini
terjaga, sedikit demi sedikit mulai pudar. Anak-anak muda yang naif
(pendekar instan) mulai menggunakan cara-cara yang kurang etis dalam
berkelahi. Misalnya mereka mengeroyok lawan, menculik lawan di rumah,
tawuran (lempar-lemparan batu), menyerang dari belakang, dan cara-cara
yang tidak terhormat lainnya. Awalnya pendekar-pendekar SHT yang
memegang teguh kode etik pertarungan pencak silat, masih berupaya sabar.
Namun, akhirnya mereka kehilangan kesabaran setelah korban di pihak
mereka mulai berjatuhan.
Tercatat, terjadi beberapa kali
pertarungan yang memakan korban jiwa akibat tindakan yang tidak sportif.
Pernah terjadi kasus dimana dua orang pendekar yang sedang berboncengan
sepeda ontel, di tebas dari belakang oleh lawan bersepeda motor dengan
menggunakan clurit. Kemudian ada juga kasus seorang pendekar yang sedang
menggarap sawah, ditebas dari belakang oleh lawannya dengan menggunakan
pacul.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan gambaran betapa
etika pertarungan sportif satu lawan satu yang selama ini dipegang erat
oleh para pendekar, mulai pudar.
KITA ADALAH SAUDARA,MENGAPA HARUS BERTENGKAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar